Rabu, 30 Desember 2009

MAKALAH

MASALAH KETENAGAKERJAAN
DI
INDONESIA






DISUSUN OLEH :
DANISWARA W W
(31298370)
KELAS :
2 DD 04
MANAJEMEN KEUANGAN


UNIVERSITAS GUNADARMA
PTA 2009/2010




DAFTAR ISI





Daftar isi ………………………………………………………………………….................................. i
Kata pengantar ………………………………………………………………………………………… ii
I PENDAHULUAN
Latar Belakang ……………………………………………………………………………………….. 1
PROBLEMATIKA 4
Krisis moneter yang melanda Indonesia membawa akibat bertambahnya tenaga kerja Indonesia untuk bekerja ke luar negeri. Sebagian besar TKI itu tergolong unskillabour yang sangat membutuhkan perlindungan hukum. 5
II PEMBAHASAN 5
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengerahan buruh ke luar negeri yaitu Permenaker No. Per-1/Men/1984 tentang Balai Latihan bagi PPTKI ke luar negeri jo.Permenaker No. 05./Men/1988 tentang antar kerja antar negara (AKAN) jo. Permenaker No. Per-02/Men/1994 tentang penempatan TKI di dalam dan di luar negeri jo. Kepmenaker No. Kep-204/Men/1999 tentang Penempatan TKI ke luar negeri jo. Kepmenaker No. Kep-138/Men/2000 tentang Penempatan TKI ke luar negeri jo. Kepmenaker No. Kep-104-A/Men/2002 tentang Penempatan TKI ke luar negeri. 5
Perlindungan hukum bagi TKI 6
Batasan subyek hukum dalam penempatan TKI 6
Penentuan negara tujuan TKI 9
Bentuk Perlindungan hukum bagi TKI 9
Upaya hukum bagi TKI apabila haknya dilanggar 14























KATA PENGANTAR




Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesempatan bagi saya sehingga tuhas makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan makalah yang berjudul “Masalah Pengangguran di JakTim” ini, bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan dampak dari pengangguran terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari Bapak dosen mata kuliah Penganta Ekonomi Pembangunan, serta berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan. Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca umumnya, serta semoga dapat menjadi suatu bahan pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan prestasi di masa yang akan datang.




Hormat saya,


Penulis






















Latar Belakang
Jumlah dan persentase penduduk tenaga kerja di Indonesia pada periode 2003-2009 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada periode 2003-2009 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 1,2 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 2003. Persentase penduduk miskin meningkat dari 17,47 persen menjadi 23,43 persen pada periode yang sama.























Tenaga kerja Indonesia (TKI) rentan permasalahan sejak berangkat sampai pulang ke tanah air. Permasalahan itu memerlukan perlindungan hukum. Salah satu bentuknya dengan Kepmenaker No. Kep-104-A/Men/2002 tentang Penempatan Tenaga kerja ke luar negeri. Keputusan Dirjen P2TKLN No. Kep-314/D.P2TKLN/X/2002 tanggal 14 Oktober 2002 tentang Pedoman pelaksanaan tentang penempatan TKI dalam kendali alokasi.
Kendali alokasi adalah salah satu bentuk perlindungan hukum bagi TKI khususnya wanita yang bekerja di sektor rumah tangga, pengasuh balita. Ada syarat khusus bagi PJTKI untuk memberikan perlindungan hukum sebelum saat dan purna penempatan
Kata kunci : TKI, perlindungan hukum, kendali alokasi.
PROBLEMATIKA
Krisis moneter yang melanda Indonesia membawa akibat bertambahnya tenaga kerja Indonesia untuk bekerja ke luar negeri. Sebagian besar TKI itu tergolong unskillabour yang sangat membutuhkan perlindungan hukum.
Mempekerjakan orang Indonesia ke luar negeri sebenarnya sudah ada sejak zaman penjajahan Hindia Belanda, yang dipekerjakan di perkebunan milik Belanda di
Suriname dan New Caledonia. Pada saat itu penguasa kolonial memberi hukuman yang dapat memaksa kuli melaksanakan kewajibannya. Bagi yang menolak untuk melakukan perjanjian kerja, melarikan diri akan dikembalikan dengan bantuan polisi.
Setelah Indonesia merdeka pengerahan TKI pada awalnya dilakukan ke negara Arab Saudi, selanjutnya ke Asia Selatan dan hampir ke seluruh dunia. Pengerahan TKI merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang dikategorikan eksport komediti non migas. Devisa yang diperoleh dari TKI tahun 1998/1999 dari 716.418 TKI adalah US $ 1.242.486.087.
Pengerahan TKI ke Malaysia pada awal tahun 2002 mendatangkan masalah karena banyak yang illegal atau sebagai pendatang haram Malaysia.
Awal tahun 2003 pemerintah Malaysia berniat untuk memanggil kembali TKI yang telah dipulangkan. Kebijaksanaan pemerintah Malaysia itu dipengaruhi oleh kenyataan adanya tuntutan yang tinggi untuk tenaga kerja asing di bidang konstruksi, pengembangan infrastruktur dan sektor manufaktur. Dengan dipulangkannya TKI illegal ke Indonesia berdampak negatif pada terhentinya pembangunan fisik di Malaysia sehingga Malaysia menderita kerugian 1,2 milliar ringgit (sekitar Rp. 2,7 trilyun) sebagai akibat kurangnya tenaga kerja bidang konstruksi.
Sedangkan remitten TKI tahun 1993/1994 adalah 800 juta dolar, untuk pekerja asing
tahun 1994/1995 250 milyard dolar.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan
perlindungan hukum bagi TKI. Diantaranya adalah dengan dikeluarkannya Kepmenaker No. Kep-104-A/Men/2002 tentang penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi TKI melalui mekanisme kendali alokasi itu ?



II PEMBAHASAN
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengerahan buruh ke luar negeri yaitu Permenaker No. Per-1/Men/1984 tentang Balai Latihan bagi PPTKI ke luar negeri jo.Permenaker No. 05./Men/1988 tentang antar kerja antar negara (AKAN) jo. Permenaker No. Per-02/Men/1994 tentang penempatan TKI di dalam dan di luar negeri jo. Kepmenaker No. Kep-204/Men/1999 tentang Penempatan TKI ke luar negeri jo. Kepmenaker No. Kep-138/Men/2000 tentang Penempatan TKI ke luar negeri jo. Kepmenaker No. Kep-104-A/Men/2002 tentang Penempatan TKI ke luar negeri.
Pengaturan pengerahan TKI dilaksanakan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja atau Keputusan Menteri Tenaga Kerja, berarti merupakan suatu produk hukum eksekutif murni, mengingat Menteri adalah pembantu Presiden dalam melaksanakan fungsi eksekutif.
Kebijaksanaan mengenai pengerahan tenaga kerja ke luar negeri harus dalam bentuk suatu undang-undang supaya lebih terjamin perlindungan hukumnya. Apabila dilihat ke belakang sebenarnya ada ketentuan yang mengaturnya. Berdasarkan TAP MPRS No. XXVIII/MPRS-RI/1966 tentang kebijaksanaan peningkatan kesejahteraan rakyat (Ketentuan ini telah dicabut berdasarkan TAP MPR-RI No. V/MPR/1973 tentang GBHN karena materinya sudah tertampung di dalam GBHN) pasal 2, yaitu segera dibentuk undang-undang perburuhan mengenai penempatan tenaga kerja. (garis bawah dari penulis). Sayangnya hal itu sampai sekarang tidak pernah terwujud.












Perlindungan hukum bagi TKI
Konsep perlindungan hukum bagi TKI berdasarkan ketentuan Kepmenaker No. Kep-104-A/Men/2002 pada dasarnya meliputi :
1. Batasan subyek hukum dalam penempatan TKI
2. Penentuan negara tujuan TKI
3. Bentuk perlindungan hukum bagi TKI ( pra, masa dan purna penempatan)
4. Upaya hukum bagi TKI apabila dilanggar haknya.

Batasan subyek hukum dalam penempatan TKI
Subyek hukum yang terkait dengan penempatan TKI ke luar negeri pada pokoknya ada dua yaitu TKI (sebagai pekerja) dan majikan yang ada di luar negeri. Timbul permasalahan mengingat mereka tidak berada dalam satu negara yang dibatasi oleh kedaulatan negara. Oleh karena itu membutuhkan pihak ketiga untuk membantu terselenggaranya hubungan kerja itu. Pihak ketiga itu adalah PJTKI, pemerintah Indonesia, pemerintah tempat bekerja serta pihak lain yang turut membantu terselenggaranya proses pengerahan TKI.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 4 Kepmenaker no. 104-A/Men/2002, tenaga kerja Indonesia (TKI) adalah warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja melalui prosedur penempatan TKI.
Pengertian tentang TKI berdasarkan ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. TKI yang melalui prosedur penempatan
2. TKI untuk kepentingan perusahaan sendiri
3. TKI dengan visa kerja panggilan.
Tulisan ini hanya dibatasi pada kelompok TKI yang pertama yaitu TKI yang melalui prosedur penempatan, yang pada umumnya tergolong unskillabour. Terhadap mereka berdasarkan ketentuan pasal 25 ayat 1 Kepmenaker No. Kep-104-A/Men/2002 yaitu pemerintah menetapkan kendali alokasi TKI bagi PJTKI yang menempatkan TKI perempuan sebagai penata laksana rumah tangga, pengasuh bayi, pengasuh anak balita, dan perawat orang lanjut usia pada pengguna perseorangan / sektor rumah tangga. Ketentuan mengenai kendali alokasi ini ditindak lanjuti dengan adanya Keputusan Dirjen P2TKLN No. Kep-314/D.P2TKLN/X/2002 tanggal 14 Oktober 2002 tentang pedoman pelaksanaan penempatan TKI dalam kendali alokasi.
Pengertian pengguna jasa TKI berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 10 Kepmenaker No. Kep-104-A/Men/2002 adalah instansi pemerintah, badan hukum atau perorangan di luar negeri yang mempekerjakan TKI. Pemakaian istilah pengguna jasa menimbulkan pro dan kontra di masyarakat yang seolah-olah merendahkan martabat TKI. Menempatkan TKI setara dengan barang yang dapat digunakan oleh pembeli atau pemakai.
Selanjutnya pengertian PJTKI berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 6 Kepmenaker No. Kep-104-A/Men/2002 adalah badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas yang mendapat izin dari Menteri untuk berusaha di bidang jasa penempatan TKI ke luar negeri. Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam Bab II pasal 8 – 24 Kepmenaker No. Kep-104-A/Men/2002 tentang PJTKI. Berdasarkan ketentuan tersebut, PJTKI harus mempunyai SIUP PJTKI dan dapat membuka kantor cabang dan perwakilan di luar negeri. Adanya keharusan PJTKI yang mempunyai surat izin usaha penempatan perusahaan jasa TKI menuntut tanggung jawab menyeluruh bagi PJTKI yang lebih optimal. Banyaknya PJTKI yang tidak bertanggung jawab dan menelantarkan TKI baik di dalam maupun di luar negeri inilah yang mendorong diciptakannya sistem kendali alokasi bagi TKI. SIUPdan SIP itu akan selalu di evaluasi setiap 6 bulan sekali.
Untuk mendapatkan SIUP PJTKI berdasarkan ketentuan pasal 8 ayat (2) Kepmenaker tersebut PJTKI harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. badan hukum berbentuk perseroan terbatas;
b. mempunyai kantor dan peralatan kantor yang lengkap serta alamat yang jelas sesuai dengan surat keterangan domisili dari instansi yang berwenang
c. mempunyai nomor pokok wajib pajak;
d. menyetorkan dana jaminan dalam bentuk deposito atas nama Menteri q.q. PJTKI sebesar Rp. 250.000.000 pada bank nasional di Indonesia yang ditunjuk Menteri;
e. memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan
f. memberikan surat kuasa kepada Menteri untuk mencairkan deposito dana jaminan
g. memiliki surat keterangan undang-undang gangguan
h. mempunyai bukti wajib lapor ketenagakerjaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1981
i. mempunyai rencana kegiatan perusahaan lima tahun kalender berturut-turut
j. mempunyai asrama / akomodasi yang memenuhi persyaratan;
k. mempunyai pegawai yang berpengalaman dibidang ketenagakerjaan;
l. komisaris dan direksi perusahaan tidak pernah melakukan tindak pidana berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Diantara fasilitas yang harus dimiliki oleh PJTKI berdasarkan ketentuan angka III B 2 a Keputusan Dirjen P2TKLN No. Kep-314/D.P2TKLN/X/2002 tanggal 14 Oktober 2002 tentang kapasitas asrama/ akomodasi TKI disebutkan bahwa luas / volume ruang tidur untuk akomodasi TKI adalah 7 m3 perorang dengan perlengkapan kamar tidur yang layak / manusiawi. Kamar mandi –WC dengan ratio 1 MCK maksimum untuk 10 orang.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah batasan norma hukum ketentuan itu benar-benar bertujuan untuk melindungi TKI ? Tampaknya ya, tetapi apabila kita telaah lebih jauh lagi ada keraguan bahwa norma itu sebenarnya adalah lebih menguntungkan PJTKI yang dengan prinsip ekonomi menggunakan lahan seminimal mungkin untuk menyediakan fasilitas akomodasi dibawah standart kelayakan manusia untuk melepas lelah. Luas ruang tidur 7 m3 hampir sama dengan luas areal makam. Jadi ketentuan itu hakekatnya sama dengan menempatkan TKI sebagai obyek bagi PJTKI dalam mengeruk keuntungan,bukan subyek hukum yang perlu dilindungi.
Luas ruang tidur 7 m3 perorang adalah ketentuan yang sangat minimal untuk dapat beristirahat dengan tenang, meskipun kenyataannya banyak dilanggar oleh PJTKI. Banyak terungkap kasus penyekapan TKI dalam suatu ruangan tertutup dimana ruangan itu dihuni lebih dari kapasitasnya , tanpa alas tidur, makan dan minum dengan pola menu dibawah kewajaran martabat manusia serta fasilitas MCK yang sangat buruk.
Luas ruang tidur 7 m3/ orang mengingatkan kita pada luas tanah yang dibutuhkan oleh setiap manusia apabila sudah meninggal (kebutuhan areal tanah pemakaman individu). Mudah-mudahan batasan luas ruang 7 m3/ orang merupakan langkah awal yang baik bagi perlindungan TKI dapat segera diperbaiki.
Selain itu, PJTKI dapat melakukan perhitungan sendiri (penerapan system selfassesment seperti pada pajak) untuk mengukur kemampuan mengirim TKI ke luar negeri dalam satu bulan berdasarkan ketentuan III B 3 a Keputusan Dirjen P2tkln tersebut berdasarkan rumus:
Efektifitas kelas perhar angka kendali
____________________ x hari lama pelatihan x jumlah siswa perkelas = alokasi TKI
jumlah kelas perbulan
Dari rumus tersebut, apabila diasumsikan kapasitas asrama 500 orang, jumlah siswa dalam satu kelas 20 orang, frekuensi penggunaan kelas setiap hari 2 kali dan lama masa pelatihan / jumlah hari adalah 30 hari maka PJTKI itu dapat mengajukan permohonan penetapan alokasi penempatan TKI kepada Dirjen P2KTLN sebanyak 312 orang perbulan.
Setelah dilakukan perhitungan itu maka Depanker,(cq.Dirjen P2KTLN) melakukan evaluasi kelayakannya, baru kemudian muncul surat keputusan tentang jumlah TKI yang dapat dikirim oleh
PJTKI tiap bulan. Ap
abila dikaji hasil perhitungan sistim kendali alokasi itu hasilnya hanya kurang lebih 60 % dari daya tampung PJTKI dalam perhitungan kapasitas asrama/ akomodasi ( 312 : 500 x 100 %). Dari ketentuanitu tampaknya tujuan pemerintah menetapkan kurang lebih 60 % dari kapasitas daya tampung PJTKI adalah mengarah pada besarnya tanggung jawab pemantauan PJTKI apabila nanti TKI sudah bekerja di luar negeri dengan penerapan system on line. Pertanyaan kemudian mampukah pejabat Depnaker melakukan evaluasi kelayakan secara obyektif terhadap PJTKI ? Apakah hal ini justru tidak membuka pintu kolusi pejabat dengan PJTKI untuk menambah daya tampung dan daya kirim TKI ke luar negeri ? Lebih jauh lagi, bisa saja sistim kendali alokasi ini hanya dijadikan tameng bagi PJTKI untuk memperbanyak jumlah pengiriman TKI dengan data palsu yang telah dirancang sedemikian rupa denganbantuan oknum Depnaker yang tidak bertanggung jawab.
Sebagai bahan perbandingan sistim ini sama dengan system self-assesment yang ada di bidang perpajakan. Tujuan dibuatnya ketentuan ini untuk memudahkan wajib pajak menghitung sendiri pajaknya atas dasar kejujuran. Kenyataannya justru dengan sistem self- assessment banyak terdapat manipulasi data yang justru perhitungannya dilakukan oleh oknum pajak untuk memperkecil jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Bukankah hal ini adalah suatu perbuatan korupsi dengan hasil akhir mengurangi sumber pendapatan negara.
Jadi sitem perhitungan dengan kendali alokasi ini sudah baik, apabila diimbangi dengan pengawasan yang bertanggung jawab dari pemerintah cq Depnaker. Apabila tidak diimbangi dengan pengawasan sekaligus penegakan hukumnya, system kendali alokasi ini justru memberikan kemudahan PJTKI untuk mengeksploitasi TKI (kepentingan PJTKI dan majikan yang lebih diutamakan), bukan kepentingan TKI
Penentuan negara tujuan TKI
Penempatan TKI dapat dilakukan ke semua negara dengan syarat di negara tujuan ada jaminan perlindungan bagi TKI dan tidak dalam keadaan bahaya (pasal 3 ayat (1)). Penempatan TKI harus dilakukan pada jenis dan tempat pekerjaan yang tidak bertentangan dengan norma kesusilaan (pasal 3 ayat 3)
Adanya jaminan perlindungan bagi TKI di negara tempat kerja, sebaiknya dilakukan pengiriman TKI ke negara yang sudah ada perjanjian bilateralnya dengan pemerintahan Indonesia. Meskipun hal itu juga masih belum menjamin tidak terdapatnya pelanggaran hak bagi TKI.
Ada dua kawasan negara tujuan penempatan, yaitu kawasan Timur Tengah dan kawasan Asia Pasific. Kawasan Timur Tengah dan Afrika meliputi negara tujuan persatuan Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, Qatar, Oman, Mesir, Yordania. Sedangkan kawasan Asia Pasific untuk negara tujuan Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Hongkong Special Autority Region (SAR) dan Taiwan. Pada saat ini berkaitan dengan adanya perang Irak- Amerika, untuk sementara pengerahan TKI ke kawasan Timur Tengah dihentikan.
Bentuk Perlindungan hukum bagi TKI
Bentuk perlindungan hukum bagi TKI berdasarkan ketentuan Kepmenaker tersebut dibagi dalam tiga tahap yaitu perlindungan hukum pada saat pra penempatan, pada saat penempatan dan purna penempatan. Pada saat pra penempatan dan purna penempatan, tunduk pada aturan hukum Indonesia. Sedangkan pada saat penempatan, tunduk pada hukum negara tempat bekerjanya TKI.
Perlindungan hukum bagi TKI pada saat pra penempatan secara garis besar meliputi dipenuhinya syarat penempatan, mekanisme penempatan dan pembiayaan.
Pada syarat Penempatan PJTKI wajib memiliki dokumen sebagai syarat penempatan berdasarkan ketentuan pasal 29 Kepmenaker No.104-A/Men/2002 :
a. perjanjian kerjasama penempatan;
b. surat permintaan TKI (job order / demand letter) atas nama PJTKI yang bersangkutan;
c. perjanjian kerja;
d. Perjanjian penempatan TKI

Keempat syarat itu harus disetujui oleh Depnaker sebelum TKI diberangkatkan. Tentunya Depnaker telah melakukan penelitian yang cukup mengenai kelayakan persyaratan itu. Kenyataannya masih dijumpai bentuk perjanjian kerja yang isinya bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku. Misalnya disyaratkan TKI yang akan bekerja tidak dalam keadaan hamil, tidak diperbolehkannya TKI untuk kawin dengan penduduk setempat
Apabila dikaji, empat syarat penempatan yang harus dipenuhi oleh PJTKI itu adalah kurang. Masih dibutuhkan perjanjian lainnya dalam rangka pemberian perlindungan hukum bagi TKI yaitu :

1. perjanjian pemberian kuasa antara TKI dengan Perwada/Perwalu; antara PJTKI dengan Perwada/Perwalu;
2. perjanjian pemberian kredit antara PJTKI dengan Bank Peserta Program; antara TKI dengan Bank Peserta rogram;
3. perjanjian asuransi bagi TKI antara PJTKI dengan asuransi, antara majikan dan asuransi.

Mekanisme penempatan TKI ke luar negeri melalui tahap-tahap yaitu
1. penyuluhan tentang program penempatan TKI, prosedur, mekanisme dan persyaratan umum bagi CTKI yang berminat,
2. pendataan, tidak diperbolehkan adanya pemungutan biaya dan penghimpunan CTKI dalam asrama. Dilakukan dengan menyerahkan fotokopi jati diri, ijasah dan atau setifikat ketrampilan untuk di data pada instansi kabupaten/ kota dan atau petugas kantor cabang PJTKI untuk diteruskan kepada BP2TKI.
3. Pendaftaran dilakukan hanya oleh PJTKI yang mempunyai surat ijin pengerahan (SIP) berdasar negara tujuan tertentu saja yang selanjutnya dapat menghimpun CTKI dalam asrama atau akomodasi.
4. Seleksi pemberangkatan bagi CTKI.
Setiap CTKI yang mendaftar harus telah mengikuti penyuluhan mengenai :
a. lowongan pekerjaan yang tersedia beserta uraian tugas;
b. syarat-syarat kerja yang memuat antara lain gaji, jaminan sosial, waktu kerja;
c. kondisi, lokasi dan lingkungan kerja;
d. peraturan perundang-undangan, sosial budaya, situasi dan kondisi negara tujuan;
e. hak dan kewajiban TKI;
f. prosedur dan kelengkapan dokumen penempatan TKI;
g. biaya-biaya yang dibebankan kepada CTKI dan mekanisme pembayarannya;
h. dan persyaratan CTKI.

Selain itu, CTKI yang akan mendaftar harus memenuhi syarat usia minimal 18 tahun, memiliki KTP, sehat mental dan fisik, pendidikan minimal tamat SLTP, memiliki ketrampilan atau keahlian (dibuktikan dengan sertifikat ketrampilan oleh lembaga pelatihan terakreditasi, memiliki surat izin orang tua/ wali, suami /istri.
Adanya bukti memiliki ketrampilan adalah bertujuan pengerahan TKI hanya pada CTKI yang memenuhi standart kualitas saja. Kewajiban PJTKI untuk melatih CTKI yang belum berketrampilan. Rencananya uji ketrampilan nantinya akan diadakan oleh lembaga uji kompetensi independen. Sampai sekarang lembaga ini belum terbentuk. Untuk hal ini diragukan sekali terjadi penilaian yang obyektif, dimungkinkan terjadi jual beli sertifikat yang tidak mengacu pada standart kualitas. Dampak negatifnya dimungkinkan yang dikerahkan nanti terdapat TKI dengan kualitas sangat rendah tetapi mempunyai setifikat lolos uji ketrampilan
Apabila semua telah dijalani oleh CTKI maka sebelum diberangkatkan harus
mengikuti pembekalan akhir pemberangkatan (PAP). Mereka yang lulus segera dibuatkan daftar nominasi CTKI, yang merupakan syarat untuk mengajukan permohonan rekomendasi pembuatan paspor, ke kantor imigrasi.

Adapun materi PAP berdasarkan ketentuan pasal 49 ayat (2) Kepmenaker itu minimal meliputi :
a. pembinaan mental kerohanian ;
b. pembinaan fisik, disiplin dan kepribadian;
c. sosial budaya, adat istiadat dan kondisi negara tujuan;
d. peraturan perundangan di negara tujuan;
e. tata cara keberangkatan dan kepulangan;
f. informasi yang berkaitan dengan keberadaan perwakilan RI;
g. program pengiriman uang (remittance) dan tabungan;
h. kelengkapan dokumen TKI;
i. isi perjanjian penempatan; dan
j. hak dan kewajiban TKI/ PJTKI.

Apabila dikaji materi yang ada di dalam penyuluhan hampir sama dengan materi pada saat pembekalan akhir pemberangkatan. Hal ini tidak tepat karena untuk satu orang CTKI harus mengikuti penyuluhan dengan materi yang sama dua kali. Ketentuan ini tampaknya untuk kepentingan TKI tetapi justru sebaliknya sangat merugikan TKI, kembali lagi dapat digunakan untuk memperkaya PJTKI dalam mengeruk keuntungan. Selain itu seharusnya lebih mengarah kepada tekhnis untuk meningkatkan ketrampilan dan keahlian supaya dapat meningkatkan posisi tawar TKI. Merupakan tugas pemerintah untuk segera mengadakan evaluasi terhadap perbaikan materinya. Apakah hal ini sudah terlaksana ? belum. Mengapa ? karena proses pelatihan sudah diadakan lebih dari 20 tahun tetapi TKI yang dikirim selama 20 tahun tetap saja masih yang unskillabour.
Apabila kurun waktu 20 tahun dianalogikan dengan masa sekolah waktu 20 tahun diperlukan seseorang untuk sekolah mulai sekolah dasar sampai menjelang kelulusan S1. Bisa dibayangkan kemampuan ilmu seseorang yang telah belajar selama 20 tahun apabila diterapkan kepada TKI tidak mungkin hanya untuk pekerjaan pembantu rumah tangga saja, seperti yang terjadi sampai saat ini.
Selanjutnya, sebelum CTKI diberangkatkan, harus mengurus kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN) di BP2TKI. Permohonan KTKLN dengan melampirkan paspor dan visa kerja, bukti pembayaran biaya pembinaan TKI, bukti kepesertaan program asuransi TKI, perjanjian kerja yang sudah ditandatangani para pihak, surat keterangan telah mengikuti PAP dan buku tabungan TKI dalam rangka remittance
Berdasarkan ketentuan pasal 53 Kepmenaker tersebut biaya penempatan dibebankan kepada pengguna dan atau calon TKI / TKI. Komponen biaya itu meliputi paspor, pelatihan, tes kesehatan, visa kerja, transportasi lokal, akomodasi dan konsumsi, tiket keberangkatan, asuransi TKI, biaya pembinaan TKI dan jasa perusahaan.
Jasa perusahaan dibebankan apabila tidak ditanggung oleh pengguna serta maksimal besarnya satu bulan gaji. Pembayarannya dapat tunai atau angsuran maksimal 25 % gaji TKI perbulan.
Besarnya biaya yang dibebankan kepada TKI kenyataannya melebihi ketentuan yang ada. Berdasarkan Surat Dirjen Binapenta tanggal 6-6-1996, kepada Direksi Bank Indonesia tentang standar biaya penempatan TKI ke luar negeri dengan negara tujuan Malaysia, sebesar Rp. 1.750.000,00. Kanyataannya PT. Bijak mengerahkan TKI ke Malaysia dengan biaya pengerahan berkisar antara Rp. 2.000.000 ,00 sampai dengan Rp. 4.500.000,00. Bahkan akhir-akhir ini biaya tidak resmi bagi pengerahan TKI ke Malaysia mencapai Rp. 6.000.000,00 hingga Rp. 10.000.000,00.
Biaya yang dibebankan kepada TKI pada saat ini berbeda dengan saat awal diadakannya kebijaksanaan pengerahan TKI ke luar negeri. Berdasarkan ketentuan pasal 6 Permenaker No. Per-01/Men/1984 tentang Balai Latihan bagi PPTKI ke luar negeri, terdapat larangan bagi PPTKI untuk memungut biaya latihan dan penampungan. Hal ini juga sama dengan aturan hukum yang terdapat dalam Kepmenaker No. Kep-420/Men/1985 tentang persyaratan dan kewajiban PPTKI, terdapat larangan untuk memungut biaya latihan bagi TKI. Pengenaan biaya pengerajhan kepada TKI mulai ada sejak dikeluarkannya Permenaker No. Per-05/Men/1988 tentang Antar Kerja Antar Negara. Berdasarkan ketentuan pasal 16 dan pasal 17 ditetapkan biaya pengerahan ditanggung pengerah tenaga kerja, kecuali Menteri menentukan lain. Ketentuan ini dapat diinterpretasikan bahwa biaya pengerahan dapat ditanggung oleh TKI sebegian atau seluruhnya. Berdasarkan ketentuan pasal 11 huruf (f) Permenaker No. Per-02/Men/1994 yaitu jasa penempatan dibebankan kepada pengguna jasa / dan tenaga kerja. Ketentuan ini dapat diartikan bahwa TKI dapat menanggung biaya penempatan secara keseluruhan. Hal ini berlanjut sampai saat ini. Jelas dengan telaah sejarah pengerahan TKI dari awal sampai sekarang telah terjadi pergeseran kepentingan. Semula ditujukan untuk kepentingan TKI, sekarang telah bergeser untuk kepentingan majikan ( yang bukan warga negara Indonesia) atau PJTKI yang mengeruk keuntungan dengan menjual kepentingan warga negara Indonesia untuk kepentingan warga negara lain. Apakah tidak berlebihan apabila diragukan makna dalam pembukaan UUD ’45 bahwa negara melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dalam halpengerahan TKI ini ?
Perlindungan hukum pada saat penempatan mewajibkan PJTKI untuk bertanggung jawab atas perlindungan dan pembelaan terhadap hak dan kepentingan TKI di luar negeri. Dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan lembaga perlindungan hukum TKI yang terdiri dari konsultan hukum, atau lembaga asuransi.
Berdasarkan ketentuan pasal 58 ayat (3) Kepmenaker tersebut, kewajiban dalam rangka perlindungan hukum meliputi :
a. menyelesaikan perselisihan antara TKI dengan pengguna atau dengan pihak ketiga;
b. memberikan konsultasi atau bantuan hukum bagi TKI yang bermasalah;
c. mengurus penyelesaian pembayaran atas gaji TKI yang tidak dibayar;
d. mengurus hak TKI / tunjangan akibat PHK;
e. mengurus penyelesaian jaminan atas resiko kecelakaan kerja dan atau kematian yang dialami oleh TKI dalam kaitan hubungan kerja; dan
f. menyelesaikan permasalahan TKI dalam bentuk kerugian yang bersifat non material.

Bentuk lainnya bagi usaha pemberian perlindungan hukum bagi TKI adalah adanya kewajiban PJTKI untuk menanamkan deposito dan kewajiban untuk menabung selama masa kerja minimal 25 % dari gaji perbulan.
Pertanyaan lebih lanjut apakah kewajibanPJTKI itu dilaksanakan secara penuh dan tanggung jawab? Kenyataannya tidak, justru apabila ada permasalahan yang menimpa TKI di luar negeri banyak PJTKI yang melepas tanggung jawab itu, sedangkan pemerintah Indonesia kurang tegas memberikan perlindungan hukum dan lebih berorientasi untuk menjaga hubungan baik dengan negara lain. Dan pencairan deposito PJTKI sebagai jaminan tidak pernah dilaksanakan. Justru negara juga ikut berkepentingan dengan jumlah deposito para PJTKI yang relatif besar itu untuk hal-hal yang tidak sesuai tujuan.
Pada masa purna penempatan, kewajiban PJTKI adalah mengurus kepulangan TKI sampai di bandara Indonesia dalam hal masa kerja sudah habis atau dalam hal TKI bermasalah, sakit atau meninggal dunia sebelum habis masa kerjanya (termasuk apabila terjadi kekurangan biaya).
Jadwal kepulangan TKI harus dilaporkan kepada perwakilan RI di negara setempat dan Direktur Jendral , BP2TKI yang tembusannya disampaikan kepada instansi Kabupaten / Kota daerah asal TKI minimal 7 hari sebelum tanggal kepulangan. Kenyataannya justru dengan kepulangan TKI ke daerah asal menempatkan TKI sebagai obyek dalam pemenuhan kepentingan pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud misalnya biro perjalanan pulang ke daerah, pemerintah daerah yang mengambil keuntungan dengan dalih pemberdayaan TKI.
Upaya hukum bagi TKI apabila haknya dilanggar
TKI yang bekerja di luar negeri berhak mendapatkan perlindungan hukum pada masa pra penempatan, masa penempatan dan purna penempatan. Oleh karena itu apabila ada hak-hak dati TKI yang dilanggar maka ia dapat mengajukan upaya hukum. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh TKI dapat ditinjau dari tiga hal, yaitu hak apa yang dilanggar, oleh siapa yang melanggar dan kapan hak itu dilanggar.
Hak apa yang dilanggar adalah dalam kaitannya dengan isi perjanjian yang telah dibuat oleh TKI dengan PJTKI, Pengguna atau pihak asuransi. Yang lainnya adalah bentuk hak-hak TKI yang tidak disebutkan dalam perjanjian tetapi diatur dalam peraturan-perundang-undangan. Siapa yang melanggar adalah keterkaitan dengan subyek hukum yang melaksanakan hubungan hukum, kemungkinannya meliputi PJTKI, Mitra Usaha, Pengguna, Pihak Asuransi. Kapan hak itu dilanggar adalah dalam kaitannya dengan tahap-tahap penempatan meliputi pra penempatan, masa penempatan dan purna penempatan.
Pada masa pra penempatan dan purna penempatan, apabila ada hak-hak TKI yang dilanggar maka dapat mengajukan gugat ganti rugi berdasarkan wanprestasi dari isi perjanjian yang dibuat ( perjanjian penempatan TKI, perjanjian kerja ) berdasarkan ketentuan pasal 1243 Burgerlijk Wetboek ke Pengadilan Negeri. Upaya hukum lainnya yang dapat dilakukan oleh TKI apabila ada haknya yang dilanggar yang tidak terdapat dalam isi perjanjian penempatan TKI atau perjanjian kerja tetapi terbukti ada pelanggaran hukum (misalnya ada ketentuan Kepmenaker No. Kep.104-A/ Men/2002 yang dilanggar atau peraturan perundang-undangan lainnya yang dilanggar) maka dapat mengajukan gugat ganti rugi berdasarkan ketentuan pasal 1365 Burgerlijk Wetboek ke Pengadilan Negeri. Pengajuan gugat ganti rugi berdasarkan wanprestasi atau onrechtmatigedaad ke Pengadilan Negeri setempat mengingat TKI masih dan sudah berada di Indonesia, sehingga kedaulatan hukum juga berdasarkan hukum Indonesia.
Lain halnya apabila terjadi pelanggaran hak TKI yang terjadi di tempat kerja yaitu di luar negeri maka kedaulatan hukum mengikuti wilayah territorial negara tempat kerja. Sehingga TKI dapat mengajukan gugatan ke pengadilan setempat di tempat kerjanya berdasarkan hukum negara yang bersangkutan. Untuk itulah sangat perlu semua TKI yang akan bekerja ke luar negeri dibekali pemahaman hukum setempat terutama ketentuan hukum yang menyangkut hubungan kerja. Sayangnya sampai sekarang sifat pembekalan mengenai materi peraturan perundang-undangan negara tujuan masih sangat minim.
Kendali alokasi merupakan bentuk perlindungan hukum bagi TKI, karena upaya perlindungan hukum lebih ditekankan pada seleksi yang ketat sebelum TKI berangkat kerja ke luar negeri. Bentuk kendali alokasi meliputi penentuan PJTKI yang berhak melakukan pengerahan, penentuan negara tujuan, perlindungan hukum saat pra, masa dan purna penempatan, serta upaya hukum yang dapat dilakukan oleh TKI apabila ada haknya yang dilanggar.
Kendali alokasi hanya membatasi jenis pekerjaan tertentu bagi TKI yaitu penata laksana rumah tangga, pengasuh bayi, pengasuh anak balita dan perawat orang lanjut usia pada pengguna perseorangan / sector rumah tangga. Dan pada negara tujuan tertentu. PJTKI hanya yang mempunyai izin penempatan berdasarkan perhitungan kendali alokasi .
Bentuk perlindungan hukum pada pra penempatan meliputi ditetapkannya syarat penempatan, mekanisme penempatan ( penyuluhan, pendataan, pendaftaran, seleksi dan biaya). Bentuk perlindungan hukum pada masa penempatan adalah menempatkan PJTKI bertanggung jawab penuh atas keselamatanTKI di luar negeri serta adanya ketentuan menabung bagi TKI dan pencairan deposito PJTKI apabila dibutuhkan dana bagi penyelesaian TKI bermasalah. Bentuk perlindungan hukum pada purna penempatan meliputi keselamatan kepulangan sampai ke Indonesia serta diselesaikannya perpanjangan masa perjanjian kerja.
Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh TKI pada pra dan purna penempatan apabila ada haknya yang dilanggar baik wanprestasi terhadap isi perjanjian (berdasarkan pasal 1243 BW) atau onrechtmatigedaad dari peraturan perundang-undangan (berdasarkan pasal 1365 BW) maka TKI dapat mengajukannya ke Pengadilan negeri. Sedangkan upaya hukum yang dapat dilakukan apabila ada hak TKI yang dilanggar saat masa penempatan adalah tunduk pada negara setempat mengikuti kedaulatan territorial suatu negara.

Minggu, 27 Desember 2009

tugas rangkuman

BAB I PEMBANGUNAN DAERAH

I.Pengertian Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Salah satu tujuan pembangunan daerah adalah untuk memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Sedangkan pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai alat ukur bagi keberhasilan pembangunan. Peningkatan dan pemerataan pertumbuhan ekonomi selanjutnya akan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan yang dilaksanakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut harus memperhatikan antara lain; kondisi ekonomi masyarakat yang ada, potensi sumber daya alam dan manusia, dan infrastruktur yang tersedia. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut selanjutnya disusun perencanan pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sebagaimana telah dibahas di depan dengan kewenangan yang dimiliki daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dimungkin daerah untuk menyusun perencanaan dan melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Pembangunan daerah yang dilaksanakan tersebut tentu akan membawa prospek baik bagi pertumbuhan ekonomi daerah.
Akhirnya untuk mencapai hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kapasitas dan partisipasi dari para stakeholders di daerah serta keseriusan dan kerelaan pusat mmeberikan pembinaan dan dukungan. Tanpa keterlibatan para stakeholders dan dukungan pusat tersebut akan sulit bagi daerah dalam melaksanakan pembangunan menuju terwujudnya pertumbuhan ekonomi daerah.

II. TEORI – TEORI Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi Daerah
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang sangat pesat sebelum krisis moneter patut dibanggakan. Pendapatan per kapita meningkat menjadi 2x lipat antara 1990 dan 1997. Perkem-bangan ini didukung oleh suatu kebijakan mone-ter yang stabil: tingkat inflasi dan bunga yang rendah, tingkat perkembangan nilai tukar mata uang yang terkendali rendah, APBN yang ber-imbang, kebijakan ekspor yang terdiversifikasi (tidak saja tergantung pada migas), kebijakan neraca modal yang liberal, baik bagi modal yang masuk maupun yang keluar. Kesuksesan ini menimbulkan suatu optimisme yang luar biasa di satu pihak dan di pihak lain keteledoran yang tidak tanggung-tanggung. Suatu optimisme yang mendorong kebijakan-kebijakan ekonomi dan tingkah laku para pelaku ekonomi dalam dan luar negeri sepertinya lepas kendali. Kesuksesan pembangunan ekonomi Indonesia demikian me-mukau para kreditor luar negeri yang menyedia-kan kredit tanpa batas dan tanpa meneliti pro-yek-proyek yang diberi kredit itu. Keteledoran ini juga terjadi di dalam negeri, yaitu kegiatan-kegiatan ekonomi dan para pelakunya berlang-sung tanpa pengawasan dan tidak dilihat “cost benefit” secara cermat. Kredit jangka pendek diinvestasikan ke dalam proyek-proyek jangka panjang. Didorong oleh optimisme dan ketele-doran ini ekonomi didorong bertumbuh di atas kemampuannya sendiri (“bubble economics”). Pertumbuhan ini ambruk ketika kebijakan peme-rintah Thailand pada Juli 1997 untuk mengam-bangkan mata uang Thailand “bath” terhadap dolar US. Selama itu mata uang bath dan dolar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang tetap. Devaluasi mendadak dari “bath” ini menimbulkan tekanan terhadap mata uang-mata uang negara ASEAN dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini (Seda, 2002).
Indonesia, yang mengikuti sistem mengam-bang terkendali pada awalnya bertahan dengan memperluas pengendalian / intervensi, namun pada medio Agustus 1997 terpaksa mele-paskan pengendalian / intervensi melalui sistem tersebut. Rupiah langsung terdevaluasi. Pada Septem-ber/Oktober 1997 rupiah telah terdevaluasi 30% sejak Juli 1997. Pada Juli 1998 dalam setahun rupiah sudah terdevaluasi sebesar 90%, yang diikuti oleh kemerosotan IHSG di pasar modal Jakarta dengan besaran sekitar 90% pula dalam periode yang sama. Dalam per-kembangan selanjutnya dan selama ini, ternyata Indonesia paling dalam dan paling lama mengalami depresi ekonomi. Pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot men-jadi –13,7% dari pertumbuhan sebesar +4,9% pada tahun sebelumnya (1997) atau jatuh sebesar 18,6% dalam setahun (Frans Seda, 2002).
Sementara itu terjadi pula suatu perombakan yang drastis dalam strategi pembangunan eko-nomi. Pembangunan ekonomi yang selama ini adalah “State” dan “Government-led” beralih menjadi “led by private initiatives and market”. Utang pemerintah/resmi/negara turun dari USD 80 miliar menjadi USD 50 miliar pada akhir tahun 1996, sementara utang swasta mem-bubung dengan cepatnya. Jika pada tahun 1996 utang swasta masih berada pada tingkat USD 15 miliar, maka pada akhir tahun 1996 sudah meningkat menjadi antara USD 65 miliar – USD 75 miliar (Frans Seda, 2002).
Frans Seda (2002) menyatakan bahwa proses swastanisasi / privatisasi dari pelaku uta-ma pembangunan berlangsung melalui proses liberalisasi dengan mekanisme deregulasi dili-puti visi dan semangat liberal. Dalam waktu sangat singkat bertebaran bank - bank swasta di seluruh tanah air dan bertaburan korporasi-korporasi swasta yang memperoleh fasilitas-fasilitas tak terbatas. Proses swastanisasi ini berlangsung tanpa kendali dan penuh KKN. Ketika diserang krisis mata uang sikonnya belum siap dan masih penuh kerapuhan, terlebih dunia perbankan dan korporasi. Akhirnya, run-tuhlah bangunan modern dalam tubuh ekonomi bangsa. Di samping itu, kerapuhan ternyata sangat mendalam dan meluas sehingga tinda-kan-tindakan penyehatan, seperti injeksi modal oleh pemerintah, upaya-upaya rekapitalisasi, restrukturisasi perbankan dan korporasi-kor-porasi tampaknya tidak mempan selama dan sesudah lima tahun ini. Sektor finansial dan kor-porasi masih tetap terpuruk. Rapuhnya sektor-sektor modern ini adalah dalam hal organisasi, manajemen, dan mental orang-orang / para pela-kunya, dalam hal bisnis serta akhlak dan moral. Suatu kerapuhan total dan secara institusional pula.
Namun, akibat-akibat negatif ini dihadapi rakyat banyak dengan suatu resistensi dan krea-tivitas ekonomi yang militan (Frans Seda, 2002). Sektor tradisional yang selama ini dianggap sebagai sektor yang tidak penting / prioritas, ma-lahan dianggap sebagai penghambat pertum-buhan ekonomi, tidak hanya menampung rerun-tuhan dari ambruknya sektor modern, tetapi juga memainkan peran sebagai pengganti dari peranan sektor modern yang ambruk itu. Hal yang mengesankan adalah peran dari asas kekeluargaan. Mereka yang di-PHK-kan ditam-pung dalam sektor tradisional dan sektor infor-mal yang merupakan bagian dari resistensi ekonomi rakyat dalam krisis tersebut.
Dalam pemberdayaan ekonomi rakyat di-perlukan strategi yang dibangun dari komitmen bersama dari seluruh komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Komponen-komponen bangsa tersebut adalah pemerintah dan parlemen yang berperan penting dalam merumuskan kebijakan dan regulasi ekonomi, akademisi dan teori ekonomi nasional, pengusaha besar atau kecil atau usaha kecil dan menengah sebagai pelaku ekonomi di lapangan, dan institusi perbankan sebagai pengelola dan penyalur modal. Semua komponen tersebut ha-rus berkarya dan berbuat sesuai dengan kapasi-tasnya dalam suatu komunitas pemulihan ekono-mi nasional untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan amanat dalam landasan konstitusional UUD’45 dan landasan idiil Pancasila.

III PARADIGMA BARU TEORI PEMBANGUNAN DAERAH
Jika daerah tertinggal dikaitkan dengan daerah pedesaan maka jumlah penduduk di suatu pedesaan mendekati jumlah 60% di Indonesia. Jika jumlah 60% itu dijadikan alasan, maka program pembangunan daerah tertinggal pantas menjadi perhatian yang besar dari keseluruhan program pembangunan nasional. Sayangnya, orientasi pembangunan ekonomi Indonesia masih bertahan kepada paradigma trickel down effect yang menyebutkan kesejahteraan rakyat banyak terjadi karena tetesan pendapatan dari golongan pengusaha yang jumlahnya tidak lebih dari 5% dari jumlah penduduk kita. Namun, kenyataan malah menunjukkan bahwa para pengusaha memang terus menumpuk kekayaannya, tetapi ternyata kekayaan yang telah menumpuk tidak menetes kepada rakyat banyak secara adil. Dibandingkan dengan negeri jiran Malaysia, melalui dasar-dasar kebijakan ekonomi barunya, Malaysia telah mencoba memberikan kesempatan kepada para pengusaha kecil dan menengah untuk dapat meningkatkan usahanya dengan berbagai regulasi yang adil supaya kekayaan tidak hanya dimiliki oleh pengusaha besar. Sementara untuk rakyat yang tinggal di daerah pedesaan, pemerintah telah memberikan perhatian secara lebih besar melalui program pembangunan daerah pedesaan dengan satu kementerian yang dinamakan Kementerian Luar Bandar.


IV PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
STRATEGI
Strategi pembangunan secara fundamental bertumpu pada pembangunan di bidang ekonomi melalui pembangunan unit-unit usaha di berbagai sector ekonomi yang saling memberikan nilai tambah satu sama lain melalui upaya-upaya :
Kerjasama yang dinamis, harmonis dan sinergis diantara berbagai komponen internal pembangunan, terutama masyarakat, pemerintah daerah, perguruan tinggi, pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Kerjasama yang saling menguntungkan dengan berbagai komponen eksternal pembangunan baik dalam maupun luar negeri.
Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan partisipasinya dalam segenap proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi dan pelaporan.
Optimalisasi sumberdaya pembangunan internal seperti SDA, SDM, keuangan, dan lain-lain bagi pelaksanaan pembangunan daerah.

KEBIJAKAN UMUM
Rangkaian proses pembangunan di Kabupaten Sleman selama ini telah mencapai berbagai keberhasilan, sehingga pada masa yang akan datang perlu lebih ditingkatkan lagi untuk memperoleh nilai tambah yang lebih tinggi. Beberapa keberhasilan tersebut misalnya terlihat pada pembangunan pertanian khususnya pengembangan agribisnis. Pada masa yang akan datang perlu dikembangkan usaha-usaha agro bisnis yang memiliki nilai tambah pada program pariwisata melalui pengembangan agrowisata.
Keberhasilan lain yang terlihat di bidang pendidikan. Di Kabupaten Sleman ini telah berkembang dengan pesat lembaga-lembaga pendidikan. Dalam kaitan ini, di masa yang akan datang perlu dikembangkan pembangunan fasilitas belajar masyarakat seperti perpustakaan dan fasilitas belajar lainnya. Industri kecil dan kerajinan juga terlihat berkembang. Oleh karena itu perlu adanya dorongan agar menjadi salah satu andalan sumber pendapatan daerah melalui eksport dan penunjang pariwisata.
Walaupun demikian, di samping beberapa keberhasilan masih ada beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki, misalnya pembangunan pemukiman yang mendesak lahan pertanian. Di masa mendatang perlu dilakukan upaya pembangunan lingkungan sehat pada lahan tidak produktif tetapi bias mendorong terbentuknya lingkungan baru yang mampu memberikan nilai tambah bagi penduduk sekitarnya. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka menciptakan masyarakat yang terintegrasi dengan lingkungan yang luas dan tidak menjadi lingkungan elit yang disintegrated. Faktor lain yang dinilai lemah adalah munculnya kegiatan ekonomi yang tidak mendorong kehidupan ekonomi rakyat kecil seperti supermarket. Pada masa yang akan datang, cirri ekonomi rakyat kecil seperti toko-toko kelontong tidak boleh tergusur oleh fasilitas-fasilitas ekonomi yang lebih besar.

ARAH KEBIJAKAN
Umum
Pada prinsipnya pembangunan daerah adalah proses pemberdayaan rakyat menuju kemandirian, karenanya rakyat harus menjadi subyek sekaligus obyek dari pembangunan.
Perencanaan pembangunan daerah disusun secara integratif atas berbagai sektor dan aspek, sehingga membentuk suatu kesatuan proses yang saling mendukung diantara satu sektor dengan sektor lain dan diantara satu aspek dengan aspek lain. Langkah ini ditempuh untuk mempercepat proses dan menjaga keseimbangan proses pembangunan daerah.
Untuk menangkap aspirasi masyarakat dan meningkatkan kualitas pembangunan, maka perencanaan pembangunan harus memadukan pendekatan bottom-up dan top-down.
Untuk menciptakan kerjasama yang dinamis dan sinergis diantara berbagai komponen pembangunan, khususnya antara pemerintah daerah – institusi pendidikan – masyarakat, maka kerjasama ini harus dilakukan dalam seluruh proses pembangunan.
Proses pembangunan daerah harus diprioritaskan pada penyelesaian permasalahan yang penting dan mendesak, seperti mengentaskan kemiskinan dan penurunan angka pengangguran, dengan tetap memperhatikan tujuan jangka panjang demi menjaga kelestarian pembangunan.
Untuk menjaga kelestarian pembangunan dan mengoptimalkan manfaat hasil pembangunan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pembangunan daerah harus memprioritaskan sumberdaya internal.
Perlu disusun suatu Rencana Tata Ruang dan Kawasan yang berwawasan ke depan dan modern.












Khusus
Ekonomi
Penguatan sektor-sektor ekonomi dan kawasan unggulan untuk ditumbuh-kembangkan sebagai motor pertumbuhan ekonomi (engine of growth), yaitu agribisnis, pariwisata dan pendidikan.
• Mengusahakan terciptanya kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan antara pengusaha besar, menengah dan kecil untuk menciptakan sinergi bagi percepatan pembangunan.
• Menciptakan iklim dan mekanisme yang kondusif dan menarik bagi usaha-usaha ekonomi, sekaligus memberikan manfaat yang optimal bagi rakyat.
• Mengusahakan terjalinnya suatu kerjasama dan jaringan usaha (networking) yang saling menguntungkan dengan pihak eksternal, baik dari dalam maupun luar negeri.
• Pemanfaatan teknologi rendah, menengah dan tinggi untuk mengoptimalkan proses pembangunan dan nilai tambah (added value) perekonomian.
• Mengupayakan suatu sistem jaminan ekonomi dan sosial bagi kelompok lemah (kaum dhuafa).
• Pembangunan yang berwawasan lingkungan dan moral (Green and Moral Development).

Hukum
• Menciptakan masyarakat yang “melek hukum” dan sadar hukum.
• Mengupayakan berbagai mekanisme dan perangkat hukum yang memadai.
• Penegakan hukum secara adil dan konsisten, baik terhadap masyarakat luas maupun penyelenggara pemerintahan.

Pemerintahan
• Menyelenggarakan pemerintahan yang professional, efisien dan menjunjung tinggi nilai moral.
• Menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan merakyat.
• Debirokratisasi dan deregulasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan.

Demokrasi dan Politik
• Menciptakan masyarakat yang demokratis dalam bingkai hukum dan moral yang luhur.
• Menciptakan masyarakat yang partisipatif dan proaktif dalam proses-proses politik.
• Optimalisasi sarana-sarana demokrasi, seperti legislatif, media masa, partai politik, dan lain-lain untuk penyelenggaraan demokrasi dan pendidikan politik bagi rakyat.

Agama dan Moral
• Menciptakan masyarakat yang menjunjung tinggi otoritas agama dan moral dalam pembangunan.
• Peningkatan peran dan fungsi lembaga-lembaga keagamaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan pada khususnya, serta keseluruhan proses pembangunan pada umumnya.
• Peningkatan kualitas lembaga pendidikan agama melalui peningkatan sarana-prasarana, perluasan jaringan kerjasama, dan lain-lain.
• Meningkatkan dan memantapkan kerukunan antar umat beragama.


Pendidikan
• Meningkatkan taraf hidup pendidikan masyarakat melalui perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan berkualitas, baik dalam jenjang dasar, menengah hingga pendidikan tinggi.
• Mengusahakan penyelenggaraan pendidikan berkualitas dan terjangkau (murah).
• Memberikan kesempatan bagi peningkatan peran lembaga pendidikan dalam pembangunan daerah, antara lain melalui kerjasama penelitian, asistensi, maupun pengawasan pembangunan.
• Memberdayakan lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan membangun.

Sosial dan Budaya
• Menciptakan suatu kondisi kehidupan sosial-budaya yang dinamis, kritis dan kreatif dengan melalui berbagai pendekatan.
• Menciptakan suatu masyarakat yang membuka peluang bagi kemitraan dan kesetaraan antara pria dan wanita dalam mengambil peran pembangunan.
• Mengembangkan iklim yang kondusif bagi generasi muda untuk mengembangkan minat, bakat dan potensi yang positif bagi regenerasi bangsa.



V. Tahap-tahap Perencanaan Pembangunan Daerah
• Perumusan dan penentuan tujuan.
• Pengujian atau analisis opsi atau pilihan yang tersedia.
• Pemilihan rangkaian tindakan atau kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dan disepakati bersama.

VI. Peran Pemerintah dalam Pembangunan Daerah
Dalam perspektif Pemerintah Republik Indonesia, ada dua tujuan utama kebijakan otonomi daerah. Pertama, untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kedua, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah (Lihat Konsideran UU No. 32 Tahun 2004). Adapun menurut Hidayat (2000), ada tiga alasan strategis penerapan otonomi daerah. Pertama, untuk mengembangkan political equality (kesetaraan politik) guna meningkatkan partisipasi politik masyarakiat daerah dalam rangka demokratisasi dan penyelenggaraan pembangunan. Dominasi pemerintah pusat yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama telah menjadikan pemerintah pusat sebagai suprastruktur yang mengatur dan menetapkan segalanya. Sebagian besar sumber daya pemerintah dan pembangunan terkonsentrasi di pusat dan dikelola serta dikontrol oleh pemerintah pusat. Akibatnya, terjadi ketidaksetaraan (inequality) hak, kewajiban, dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain membuat beban pemerintah pusat menjadi terlalu berat, ketidaksetaraan ini juga membuat pemerintah daerah hanya menjadi “pelengkap penderita”.
Kedua, untuk meningkatkan local accountability (akuntabilitas lokal) dalam rangka meningkatkan komitmen dan tanggung jawab daerah. Peran pemerintah pusat yang terlalu dominan telah membuat para pelaksana pemerintahan dan pembangunan di daerah menjadi Boneka-boneka yang manut, cenderung bersikap Asal Bapak Seneng (ABS), kurang bertanggung jawab, dan berlindung di balik superioritas pemerintah pusat. Otonomi daerah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam mewujudkan hak dan aspirasi masyarakat di daerah secara aktif dan kreatif serta penuh komitmen dan tanggung jawab.
Ketiga, untuk menumbuhkan local responsiveness (sikap responsif terhadap persoalan-persoalan lokal) agar pemerintah daerah lebih sensitif dan responsif terhadap masalah-masalah pemerintahan dan pembangunan di daerah, sehingga dapat merencanakan dan menjalankan program-program pembangunan sesuai dengan potensi, kebutuhan, aspirasi, tradisi, dan kultur masing-masing daerah.



BAB II Hutang Luar Negeri dan Pembiayaan Pembangunan di Indonesia

1. Modal Asing dalam Pembangunan
Secara umum dapat dikatakan terdapat hubungan ketidakseimbangan antara negara maju sebagai pembawa modal dengan negara berkembang sebagai penerima modal. Hubungan tidak seimbang tersebut disebabkan oleh beberapa hal utama ( Streeten, 1980 : 251 ), yaitu :
a.Pemodal asing selalu mencari keuntungan (profit oriented), sedangkan negara penerima modal mengharapkan bahwa modal asing tersebut dapat membantu tujuan pembangunan ekonomi nasional atau sebagai pelengkap dana pembangunan
b.Pemodal asing memiliki posisi yang lebih kuat, sehingga mereka mempunyai kemampuan berusaha dan kemampuan berunding yang lebih baik
c.Pemodal asing biasanya memiliki jaringan usaha yang kuat dan luas, yaitu dalam bentuk Multinasional Corporatioan. Perusahaan ini pada dasarnya lebih mengutamakan melayani kepentingan negara dan pemilik saham dinegara asal daripada kepentingan negara penerima modal.
Tentunya ketidakseimbangan tersebut menjadi tantangan bagi negara-negara penerima modal asing termasuk Indonesia, yaitu bagaimana mengatasi ketidak seimbangan yang dimaksud dalam rangka usaha menarik investor asing. Dalam menghadapi tantangan yang dimaksud negara penerima modal asing pada umumnya dan Indonesia khususnya harus dapat mengupayakan melalui hal hal sebagai berikut :
a.Dapat mengakomodasi motif profit oriented dari pemodal asing dengan sebaik-baiknya, sehingga filosofi sebagaimana tertuang dalam UU PMA yang mengatakan bahwa masuknya modal asing hanyalah bersifat pelengkap dana pembangunan tidak menjadi suatu kendala yang menghambat arus masuknya investasi modal asing tersebut.
b,Mengupayakan agar hubungan antara pemodal asing dengan penerima modal teap diarahkan pada kemitraan yang dapat saling membangun, sehingga sumber luar negeri dari pinjaman luar negeri tetap dapat dimanfaatkan bagi pembangunan ekonomi secara optimal.
c,Negara penerima modal harus dapat mengembangkan potensi ekonominya secara akurat, serta mampu menjaring informasi mengenai kegiatan usaha penanaman modal
dalam rangka peningkatan kemampuan dan posisi bargainingnya dalam mengahadapi pemilik modal asing,

2. Motivasi Negara Donor
Pemerintah harus mengubah kebijakan dengan lebih memberi perhatian pada peningkatan peran masyarakat ketimbang meningkatkan kesejahteraan para aparat negara. Pemerintah saat ini dihadapkan pada permasalahan yang pelik yakni tingginya tingkat pengangguran dan angka kemiskinan. Pada zaman Orde Baru, pemerintah sudah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap peningkatan kesejahteraan aparat pemerintah, tetapi hasilnya tidaklah maksimal. Sebab itu, sepantasnya kalau pemerintah saat ini harus kembali ke peningkatan kesejahteraan rakyat, sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selain masalah kemiskinan dan pengangguran, besarnya stok utang pemerintah menyebabkan dana yang digunakan untuk pembangunan masyarakat sangat kecil. Sebab itu, pemerintah hendaknya mengambil suatu terobosan penyelesaian utang dengan melakukan negoisasi ke negara-negara donor agar mendapat kemudahan grace period (tidak membayar utang dalam kurun waktu tertentu). Persoalan terbesar yang dihadapi perekonomian Indonesia saat ini adalah besarnya stok utang dan upaya untuk memerangi kemiskinan.

3. Sumber – sumber pembiayaan pembangunan indonesia
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan perumusan UU No. 20/1997 adalah :
Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan Negara dan pembiayaan pembangunan melalui optimalisasi sumber-sumber PNBP dan ketertiban administrasi pengelolaan PNBP serta penyetorannya ke Kas Negara.
Kepastian hukum dan keadilan masyarakat dalam berpartisipasi pada pembiayaan pembangunan sesuai dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan-kegiatan yang menghasilkan PNBP.
Menunjang kebijaksanaan Pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan investasi di seluruh Indonesia;
Menunjang terciptanya aparat Pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa, penyederhanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi keuangan dan anggaran Negara, serta peningkatan pengawasan.
Dalam UU No. 20/1997 ini, jenis-jenis PNBP dikelompokkan sebagai berikut:
penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah;
penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;
penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan;
penerimaan dari kegiaatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah;
penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;
penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah;
penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendir








BAB III Pertumbuhan Ekonomi dalam Konsep Pembangunan Berkelanjutan


1. Peranan Lingkungan dalam Perekonomian
Peranan Lingkungan dalam perekonomian nasional diakui sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi UKM terhadap lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pembangunan ekonomi pedesaan dan sebagai penggerak peningkatan ekspor manufaktur / nonmigas. Di sisi lain, krisis ekonomi yang diawali dengan krisis moneter yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa UKM relatif lebih bertahan daripada usaha skala besar, yang banyak mengalami kebangkrutan. Hal di atas berimplikasi pada pentingnya mengembangkan UKM. Beberapa alasan yang menyebabkan pentingnya pengembangan UKM adalah:
Fleksibilitas dan adaptabilitas UKM dalam memperoleh bahan mentah dan peralatan. Relevansi UKM dengan proses-proses desentralisasi kegiatan ekonomi guna menunjang terciptanya integritas kegiatan pada sektor ekonomi yang lain. Potensi UKM dalam menciptakan dan memperluas lapangan kerja.
Peranan UKM dalmfi jangka panjang sebagai basis untuk mencapai kemandirian pemba- ngunan ekonomi; karena UKM umumnya diusahakan pengusaha dalam negeri dengm1 menggunakan kandungan impor yang rendah.
Menurut Eugene dan Morce (1965), tipe kebijakan pemerintah sangat menentukan pertumbuhan UKM. Ada empat pilihan: (1) Kebijakan do nothing policy: pemerintah apapun alasannya sadar tidak perlu berbuat apa-apa dan membiarkan UKM begitu saja, (2) kebijakan memberi perlindungan (protection policy) terhadap UKM: kebijakan ini bersifat melindungi UKM dari kompetisi dan bahkan memberi subsidi, (3) kebijakan berdasarkan ideology pembangunan (developmentalist): kebijakan ini memilih industri yang potensial, (picking the winner) namun tidak diberi subsidi dan (4) kebijakan yang semakin popular adalah apa yang disebut market friendly policy dengan penekanan pada pilihan brood based, tanpa subsidi dan kompetisi.
Pada masa lalu, pemerintah memilih kebijakan tipe kedua (protection) akan tetapi kerangka tujuan jatuh pada pilihan ketiga, yakni developmentalist. Hasilnya baik industri besar dan kecil menengah tidak berhasil. Ketidakberhasilan ini disebabkan oleh lingkungan yang diciptakan oleh kebijakan tersebut pada dasarnya membuat UKM masuk usaha yang tumbuh secara distorsif.

2. Industrialisasi dan Pembangunan Berkelanjutan
Dalam ilmu ekonomi dijelaskan bahwa industrialisasi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan menjadi lebih pentingnya sektor industri dalam perekonomian. Cara melihatnya adalah dengan memperhatikan struktur produksi di dalam Produk Domestik Bruto (PDB) yang berisikan sumbangan sektor-sektor ekonomi dalam perekomian, termasuk di dalamnya sumbangan sektor industri.




Memperhatikan keadaan Indonesia saat ini. Industrialisasi adalah solusi, untuk keluar dari low equlibrium trap atau tingkat keseimbangan dalam tingkat pertumbuhan yang rendah. Pembangunan industri adalah solusi bagi masalah ekonomi dan sosial. Pembangunan industri sebagai agen pembangunan. Sebagai agen pembangunan proses industrialisasi akan diiringi perubahan dan perubahan tersebut memberi manfaat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Ditekankan bahwa Investasi dalam industrialisasi bukan hanya membangun pabrik-pabrik. Pabrik-pabrik dan sektor-sektor yang dibangun harus saling memperkuat. Tahapan pembangunannya jelas dan terukur, serta harus disertai kebijakan yang konsisten. Selain itu, keputusan terkait dengan cara apa diproduksi, di mana lokasinya, dan bagaimana distribusi hasilnya tidak sepenuhnya diserahkan ke pasar, namun, tidak juga berarti semua investasi menjadi di bawah kendali pemerintah. Ini bukan pilihan satu atau yang lain.

3. Industri dan Eksternalitas dalam Pembangunan Berkelanjutan
Penataan ruang yang serasi dan selaras dengan kapasitas lingkungan mulai dirasakan sejak meningkatnya pertumbuhan penduduk perkotaan, masalah permukiman, penggunaan lahan untuk lokasi pembuangan samapah dan sebagainya. Oleh sebab itu zoning diperlukan untuk menciptakan keserasian alokasi ruang sehingga masing-masing lahan berfungsi sesuai pertumtukannya. Peruntukan lahan yang sesuai fungsinya dapat menciptakan suatu kawasan (perkotaan) berkembang tanpa tekanan yang kemudian memperkecil dampak eksternalitas perkotaan. Dalam suatu kawasan perkotaan, pembagian zoning mutlak diperlukan. Misalnya pembagian zoning untuk kawasan perdagangan dan bisnis, kawasan industri, kawasan perumahan, kawasan perkantoran dan pemerintahan, kawasan rekreasi, dan kawasan pembuangan atau pengelolaan sampah perkotaan.

Untuk mengatasi perubahan iklim dengan menekan kegiatan pembangunan yang dapat mengurangi pemanasan global, maka kota-kota besar di Indonesia harus mengatasi masalah persampahan agar gas metan yang dikandungnya tidak menguap ke udara dan memicu pemanasan global. Gas metan itu harus ditangkap (methane capture) dan metode seperti ini akan dikembangkan dibeberapa kota di Indonesia. Untuk meningkatkan perekonomian kota agar dapat membiayai infrastruktur sosial, maka program methane capture ini dapat diintegrasikan dengan program Clean Development Mechanism (CDM) melalui mekanisme perdagangan karbon. Dengan demikian ketiga aspek (ekonomi, social dan lingkungan) dalam pembangunan berkelanjutan akan terpenuhi.